Tata Gerak dan Sikap Umat dalam Perayaan Liturgi
Perayaan Ekaristi Hari Minggu Sabtu: 18.00; Minggu: 06.30, 08.30, 17.00
Perayaan Ekaristi Harian Senin - Sabtu: 05.30

umat Katolik membuat tanda salibDalam Perayaan Ekaristi, umat membuat tanda salib bersama-sama dengan umat yang lain hanya dua kali saja. Pertama, pada waktu imam mengawali Misa dengan tanda salib, dan kedua pada waktu imam mengakhiri Misa dengan memberikan berkat. Selain itu, ada juga tiga tanda salib kecil yang dibuat bersama-sama imam dan umat yang lain, di dahi, di bibir dan di dada, pada awal bacaan Injil. Tanda salib kecil ini dibuat tanpa mengatakan apa-apa. Selain itu, umat bisa saja membuat tanda salib secara individual, sendiri-sendiri, pada waktu berdoa pribadi saat tiba di gereja dan saat hendak meninggalkan gereja, atau saat menyampaikan doa-doa pribadi di depan patung atau lukisan orang-orang kudus, di luar Misa.

Bagaimana dengan doa pribadi sebelum dan sesudah menerima Komuni? Perlukah umat membuat tanda salib? Boleh saja, meski sebenarnya tidak perlu. Misa pada hakikatnya adalah suatu doa juga, dan pada awal dan akhir Misa kita sudah membuat tanda salib bersama-sama; jadi, untuk berbagai doa yang dipanjatkan selama berlangsungnya Misa, sebenarnya umat tidak perlu membuat tanda salib lagi.

Ada umat yang membuat tanda salib sesaat sebelum atau sesaat sesudah menerima Tubuh Kristus; perlukah itu? Sebenarnya, tidak ada tradisi demikian di Gereja Katolik Ritus Romawi. Dalam aturan tertulis demikian, "Umat menyambut [Komuni] entah sambil berlutut entah sambil berdiri, ... Tetapi, kalau menyambut sambil berdiri, dianjurkan agar sebelum menyambut Tubuh (dan Darah) Tuhan mereka menyatakan tanda hormat yang serasi..." (PUMR. 160). Maka, daripada membuat tanda salib penghormatan, yang lebih cocok adalah membungkukkan badan atau berlutut dengan kaki kanan menyentuh lantai.

Ada umat yang setelah membuat tanda salib lalu mencium ujung ibu jari atau melanjutkannya dengan tiga tanda salib kecil seperti yang kita buat sebelum Injil; perlukah itu? Jawabnya, boleh-boleh saja karena hal ini merupakan penghayatan pribadi walau sebenarnya tidak perlu.

Sumber: Katekese Liturgi 2016 - Keuskupan Surabaya