Sakramen Perkawinan
Perayaan Ekaristi Hari Minggu Sabtu: 18.00; Minggu: 06.30, 08.30, 17.00
Perayaan Ekaristi Harian Senin - Sabtu: 05.30

Sebelum mencapai kebahagiaan perkawinan, perlulah kita ketahui beberapa syarat untuk menjadikan perkawinan sebagai perjanjian yang sah.

Syarat pertama. Perkawinan Katolik yang sah adalah adanya kesepakatan atau perjanjian Perkawinan yang diikat oleh seorang pria dan wanita yang telah dibaptis sebab kesepakatan kedua mempelai ini merupakan unsur yang essensial dan syarat mutlak untuk perjanjian Perkawinan yang sah, artinya "Kesepakatan antara orang-orang yang menurut hukum mampu dan yang dinyatakan secara legitim, membuat perkawinan; kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun" (kan 1057 §1); dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali (kan 1057 §2); sebab jika kesepakatan ini tidak ada, maka tidak ada perkawinan. 

Kesepakatan ini harus dibuat secara bebas dan sukarela, dalam arti tidak ada paksaan atau desakan dari luar dan atas kemauan sendiri, tidak ada paksaan dari pihak manapun dan tidak dihalangi oleh hukum kodrat atau Gereja. (lih. kanon 1103) Kesepakatan ini dilakukan secara sadar, artinya tahu apa yang ia sepakati; perkawinan adalah suatu persekutuan tetap antara seorang pria dengan seorang wanita, terarah pada kelahiran anak, dengan suatu kerja sarna seksual (lih. kanon 1096). Kesepakatan di sini berarti tindakan manusiawi untuk saling menyerahkan diri dan menerima pasangan.

Kesepakatan perjanjian perkawinan ini harus dinyatakan secara lisan, atau jika mereka tidak dapat berbicara, dinyatakan dengan isyarat-isyarat yang senilai. Dan, kedua mempelai harus hadir pada saat upacara pernikahan dilangsungkan (lih. kanon 1104). Dalam keadaan khusus, kesepakatan ini juga dapat didelegasikan kepada orang lain. 

Syarat kedua adalah kesepakatan ini diajukan dan diterima oleh imam atau diakon yang bertugas atas nama Gereja untuk memimpin upacara Perkawinan dan untuk memberi berkat Gereja. Oleh karena kesatuan mempelai dengan Gereja ini, maka Sakramen Perkawinan diadakan di dalam liturgi resmi Gereja, dan setelah diresmikan pasangan tersebut masuk ke dalam status Gereja, yang terikat dengan hak dan kewajiban suami-istri dan terhadap anak-anak di dalam Gereja. Juga dalam peresmian Perkawinan, kehadiran para saksi adalah mutlak perlu.

Syarat ketiga adalah, mengingat pentingnya kesepakatan yang bebas dan bertanggung jawab, maka perjanjian Perkawinan ini harus didahului oleh persiapan menjelang Perkawinan. Persiapan ini mencakup pengajaran tentang martabat kasih suami-istri, tentang peran masing-masing dan pelaksanaannya.