Lain-Lain
Perayaan Ekaristi Hari Minggu Sabtu: 18.00; Minggu: 06.30, 08.30, 17.00
Perayaan Ekaristi Harian Senin - Sabtu: 05.30

Pada tanggal 1 November yang lalu Gereja Katolik merayakan Pesta semua orang kudus. Teks Injil yang dibacakan adalah perikop Matius 5:1-12, salah satu bagian dari kotbah di bukit. Saya menyebut salah satu bagian, karena kotbah di bukit itu meliputi pasal 5-7 (Matius). Dan tepat pada perikop Matius 5:1-12, diungkapkan tentang ucapan bahagia, dengan penegasan, ‘Berbahagialah’. Jika kita memetakan pola teks ini, dapat diungkapkan bahwa terdapat tiga bagian penting yang terkandung dalam setiap ayat, (yang juga erat dengan rentangan waktu: dulu, saat ini, dan masa depan). Ketiga hal itu yakni, (1) seruan Berbahagialah! Dinyatakan untuk (2) sikap dan perbuatan yang sudah dilakukan (sejak dahulu sampai saat ini) yang berkenan di hadapan Allah dengan jaminan bahwa orang tersebut akan (3) memperoleh kebahagiaan di surga (masa mendatang). Dari antara 12 ayat ini saya tertarik untuk mendalami ayat 8, ‘Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah’. Tentang ayat ini saya memutuskan untuk memberi judul tulisan ini ecce homo [=kata-kata yang dipakai Pilatus sewaktu menunjuk pada Yesus, “Lihatlah manusia itu!”—red].

 

Hati suci: dapat melihat Allah

Ketika memberi judul Ecce Homo, tentu Anda terkenang kisah Yesus dan Pilatus (Yoh 19:5). Saat itu, sesudah prajurit menyesah Yesus, mereka meletakkan mahkota duri pada kepala Yesus dan mengenakan jubah ungu pada tubuh-Nya, lalu Pilatus ke luar di hadapan banyak orang dan berkata “Lihatlah manusia itu!” (5), tetapi imam kepala dan para penjaga berteriak, “Salibkanlah Dia”. Bayangkan bahwa Yesus yang adalah Allah, tidak dikenal sebagai Allah dan manusia, tetapi Ia lebih dikenal sebagai penjahat. Untuk itu Barabas malah dibebaskan. Jika imam kepala dan para penjaga serta orang Yahudi (saat itu) memiliki hati yang suci (Mat 5:8), mereka tentu dapat melihat Allah di dalam diri Yesus.

Melihat Yesus: dalam diri sesama

Dalam perumpamaannya tentang penghakiman terakhir, Yesus menegaskan “Aku berkata kepada-Mu sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25: 40). Pada perikop ini kita seakan diajak untuk merenung lebih dalam tentang hakikat seorang manusia: Yesus menyatakan dengan terus terang, Ia hadir di dalam diri mereka yang dianggap hina. Dan tentu saja mereka yang memiliki hati yang suci dapat melihat Yesus di dalam diri saudara-saudara yang paling hina. Contoh yang paling nyata dapat kita lihat dalam diri orang-orang kudus, mereka memberi perhatian khusus bagi kelompok yang dianggap hina, dan mereka disebut berbahagia! Dalam Bahasa Latin ada istilah beatus; artinya, yang berbahagia. Kemudian gereja Katolik memberikan pengakuan terhadap orang-orang yang memiliki keisitmewaan secara spiritual dan sikap hidup, dalam proses yang disebut beatifikasi. Secara prinsipil, gereja mengukuhkan orang menjadi beato atau beata (beatifikasi) yang kemudian menjadi santo atau santa (dalam kanonisasi), berdasarkan kualitas hidup seseorang.

Orang Kudus

Membaca dan mencermati kisah-kisah hidup orang Kudus, saya mengangkat satu kualitas yang mereka miliki, yakni konsisten untuk menghargai dan memperlakukan sesama manusia sebagai ciptaan Tuhan yang mulia, apa pun kondisinya. Hal ini tampaknya sederhana, tetapi sering bertentangan dengan cara berpikir dan cara bersikap kebanyakan orang yang sering memperlakukan sesama dengan cara yang berbeda berdasarkan kategori ekonomi (kelas), ras, agama, status sosial. Lebih buruk lagi ketika kita bahkan mengkategorikan manusia seperti barang. Orang yang mungkin sudah pernah melakukan kesalahan dalam hidupnya dianggap seperti barang bekas pakai dan tidak ada harganya lagi, bahkan tidak perlu dihargai. Orang-orang yang kemudian dikatakan kudus, justru bertindak dengan cara yang berbeda. Mereka justru memandang sesama manusia sebagai makhluk mulia, ciptaan Tuhan yang patut mendapat penghargaan yang tinggi seperti yang dialami manusia lainnya. Lebih jauh, mereka justru menemukan kehadiran Tuhan di dalam diri sesama saudara yang hina dina.

Menjadi orang Kudus: disebut berbahagia

Menjadi orang kudus, berarti memilih untuk berbahagia. Jika kebahagiaan yang menjadi tujuan kita, bersikaplah seperti orang kudus, menghargai sesama (siapa saja) sebagai manusia, di rumah, di tempat kerja, dan dalam hidup bermasyarakat. Tidak saja yang beragama Katolik, tetapi semua orang dengan latar belakang apa saja, dengan status sosial apa saja. Hargailah mereka sebagai anak Allah yang mulia. Pesan Yesus, “Aku berkata kepada-Mu sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25: 40). Berbahagialah! (Penulis: Bill Halan. Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. atau This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.)